Malam yang mendung, tapi kota ini malah sibuk mendandani dirinya sebaik mungkin. Seakan tak gentar melihat kumpulan awan, yang sepertinya semakin sulit menampung butiran air hujan. Pantas saja. Sekarang adalah waktunya pergantian tahun yang memang sepantasnya dirayakan dengan gegap gempita. Tetapi benarkah demikian?
**_**
Sore ini Jono masih terlihat mengatur susunan terompet-terompet yang rencananya akan ia jajakan malam ini. Terompet panjang berjejer bersama terompet panjang, sementara terompet lainnya melingkar disampirkan di ujung pikulan. Susunan itu diatur sedemikian sehingga terlihat rapi dan menarik. Jono kembali mengusap keringat yang mulai menetes dari dahinya. “Mudah-mudahan malam ini bisa terjual banyak”, Jono bergumam, seolah panjatkan doa dalam hatinya.
Sudah sejak kemarin Jono mencoba peruntungan barunya. Berjualan terompet. Terhitung sejak bulan lalu, Jono resmi di-PHK oleh perusahaan tempat dulu ia bekerja, dan ia resmi menjadi pengangguran, sama seperti ribuan orang di kota ini. Nasibnya pun hampir sama dengan berjuta pencari kerja di kota ini, yang katanya penuh kesempatan. “Tidak ada lowongan”, “Kami belum butuh pegawai baru”, hingga “lowongan ini hanya untuk sarjana”, adalah sebagian kata-kata yang diterima Jono sebagai bentuk penolakan atas lamaran kerjanya. Apakah kesempatan itu memang belum datang kepada dirinya, Jono hanya mampu terus berdoa dan berusaha. Sama seperti hari-hari kemarin.
Kesempatan yang dinantikan akhirnya datang, dalam bentuk sebuah perayaan pergantian tahun. Edi, teman satu kost sekaligus sahabat terbaiknya, mengajak Jono untuk berjualan terompet yang dibuat oleh pamannya. Untung yang lumayan serta proses pembayaran yang bersifat “kekeluargaan”, menggoda hati Jono untuk mencoba peruntungannya. Mungkin saja Yang Kuasa berkenan memberkahi rejeki di penghujung tahun. Agar ia tak perlu mengungsi dari kamar kostnya, yang sudah dua bulan ditunggak bayarannya. “Rezeki tak akan lari kemana”, kata ini yang selalu menghibur hati Jono yang kadang miris menatap nasib.
**_**
“preeeetttt….”
Suara terompet yang ditiup Jono terdengar nyaring. Dengan cara ini, diharapkan orang tertarik dan mungkin berpikir untuk membeli terompet yang ia jual, tentunya karena suara terompet itu yang lantang dan bentuknya yang unik. Tapi terkadang suara terompet Jono dituding sebagai penyebab kebisingan, padahal ia hanya berusaha mencoba menjual dagangannya, sama seperti pedagang lain di jalanan penjuru kota ini. Tapi Jono sudah terlalu terbiasa dengan cacian dan makian, sehingga tak sedikitpun mengendurkan semangatnya untuk berjualan serta membunyikan terompetnya.
“mari, silahkan mbak, mas .. yang panjang lima belas ribu, yang kecil sepuluh ribu”
“silahkan dipilih .. harga masih bisa ditawar”
Kalimat halus dan sopan selalu keluar dari mulut Jono, berusaha memikat orang yang sekiranya tertarik membeli terompetnya. Itulah Jono, seorang sosok pemuda yang sopan dan ceria. Tentu orang tak akan menyangka bahwa sebenarnya Jono lahir tanpa pernah mengenal, atau bahkan melihat, sosok Ayahnya. Seumur hidupnya, Jono hanya mengetahui sosok seorang Ayah dari cerita yang disampaikan Ibunya, yang begitu memuja sosok lelaki itu, hingga terkadang Jono berpikir bahwa wanita itu rela menyusul suami tercintanya itu. Tapi Ibunda Jono masih memegang teguh tanggung jawabnya untuk mengasuh dan membentuk Jono menjadi sosok lelaki yang serupa suaminya, lelaki yang dicintainya sampai mati.
Ibunda Jono tentunya dapat beristirahat dengan tenang di alam selanjutnya. Hasrat untuk menyusul suaminya telah terwujud, dan tanggung jawabnya atas Jono telah dipenuhi dengan sangat baik. Buah hatinya telah tumbuh menjadi seorang yang gigih dan sabar, serupa mendiang suaminya tercinta. Jono pun dengan ikhlas mengantar jenazah wanita itu, ke peraduannya yang tak lagi terusik waktu, ketika akhirnya penyakit kanker payudara itu, berhasil menuntaskan hasrat dan penantian sang Ibunda. Saat mengantar, Jono tak menangis, ia hanya termenung mengingat segala kenangan yang pernah dilalui bersama sosok wanita yang terbebat kain kafan suci itu. Syahdu namun tidak terlarut.
**_**
“Hujan mulai deras. Sepertinya aku harus mencari tempat berteduh”
Awan rupanya telah menyerah. Air hujan yang tadi tertampung, mulai tercurah dengan rinai yang semakin rapat. Jono mengangkat pikulannya, yang berisi terompet-terompet yang belum terjual, mencari sekedar tempat berteduh. Bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk terompet-terompet yang menjadi tanggung jawabnya. Jono berhasil menemukan tempat berteduh, di depan sebuah toko yang sudah tutup. Jono tersenyum melihat pintu toko yang tertutup rapat dan terkunci. “Pasti pegawainya sudah libur dari kemarin”, Jono membayangkan para pegawai toko itu sedang menikmati malam yang indah bersama keluarga dengan penuh kehangatan, tidak seperti dirinya yang justru berjualan terompet di sini, di pinggir jalan, di bawah siraman hujan yang semakin deras.
Jono selalu membayangkan dirinya seperti itu. Memiliki keluarga yang menantinya di rumah, penuh kehangatan, menyambutnya dengan sebuah handuk kering di hari yang hujan, atau segelas sirup dingin di hari yang terik. Tapi semua hanya cukup menjadi bayangan, karena Jono menyadari kenyataan hidup belum mengijinkan dirinya merasakan itu semua. Tapi Jono tak pernah berhenti berharap dan berusaha untuk mewujudkan impian serta hasratnya, karena ia yakin, ia pasti mampu. Bukankah Ibundanya pun mampu?! Itulah yang selalu menguatkan hati Jono.
**_**
Hujan masih turun dengan derasnya. Sepertinya, malam pergantian tahun kali ini tidak akan semeriah tahun-tahun sebelumnya. Jalanan begitu lengang, becek dan sepi, dan beberapa pedagang mulai bergerak meninggalkan tempatnya berjualan, karena yakin malam ini jatah rejekinya telah habis. Lebih baik kembali ke rumah membawa rejeki seadanya, daripada memaksa lanjut dengan resiko esok hari terkapar lemah di tempat tidur. Sakit, dan tak mampu membeli obat, sehingga jatah rejeki hari itu menghilang di ambil orang. Itulah nasib yang mungkin menanti mereka.
“Ciiieeetttttt …. Gubrak”
Suara decit ban yang mencengkeram aspal, bergema memenuhi malam yang tadinya sepi. Maksud hati untuk menghindari hujan harus terbayar dengan celaka. Sebuah mobil teronggok diam di trotoar jalan. Rusak parah. Terompet-terompet berserakan di atas aspal basah, sebagian berlumur darah. Sesosok tubuh tergeletak. Diam, tak lagi bernyawa. Mewarnai hitamnya aspal dengan merahnya darah.
Kejadian itu hanya berlangsung dalam hitungan detik, tetapi ternyata mampu diurai dalam kalimat yang begitu panjang. Menurut beberapa saksi yang melihat kejadian, sebuah mobil meluncur dengan kecepatan tinggi, lalu menghantam sebuah lubang, yang rupanya luput terlihat. Pada saat yang hampir bersamaan, seorang penjual terompet melintas, menghalangi jalur mobil yang tergelincir. Mobil itu rupanya tak mampu menghindari sang penjual terompet, lalu keduanya terseret hingga menghantam trotoar. Tragis.
**_**
Jono meluruskan letak pecinya, dan merapikan kemeja hitamnya. Pagi ini, Jono akan menghadiri tahlilan dan pemakaman Edi, teman sekaligus kerabat satu-satunya di kota ini, yang meninggal akibat tertabrak mobil yang tergelincir, ketika semalam ia sedang berjualan terompet. Sekali lagi, Jono harus merasakan sebuah kehilangan. Kehilangan sosok seseorang yang begitu dekat dengan hidupnya.
Perasaan haru yang telah lama tersisih dari hatinya, kini kembali merayapi diri Jono. Tetapi, seperti ketika ia harus berpisah dengan mendiang ibundanya, Jono terlihat tegar. Tak setetespun air mata terlihat menggenang di pelupuk mata Jono, hanya seulas kesedihan yang sayup terpancar dari wajahnya.
Terlalu banyak mimpi dan hasrat yang belum terwujud dalam hidupnya, sehingga Jono enggan untuk menahan langkahnya untuk bersedih dan berkeluh kesah. Hidup tidak akan pernah menunggu, dan waktu terlalu angkuh untuk berhenti sesaat. Jono memahami hal itu, sehingga ia menolak untuk berlarut dalam kesedihan dan keputus-asaan. Ambil hikmah dari setiap kejadian, kuatkan hati dan jiwa, lalu lanjutkan hidup hingga ajal menjelang. sanggupkah kita?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar