Serpihan Hati -Part 3b-

Aku menghentikan mobilku tepat di depan gerbang rumahnya, dan seperti kebiasaan kami sebelum berpisah, aku memberinya kecupan di pipi dan keningnya. Kali ini kecupan itu begitu berarti buat ku karena takdir telah memberiku kesempatan untuk menunjukkan perasaanku kepada Wina, walaupun belum tentu Wina menyadarinya. “salam buat papa dan mama yaahhh Win,” aku mencoba berbasa-basi menyampaikan kata perpisahan walaupun dalam hati aku tidak ingin semua ini berakhir. Dia hanya mengangguk dan tersenyum, sebuah senyum yang kurasa begitu menyejukkan hati.

Ketika aku hendak beranjak pergi, tiba-tiba aku dan Wina dikejutkan oleh suara laki-laki yang menyapa, “halo Wina, tadi aku coba telepon ke handphone kamu tapi gak aktif, trus, akhirnya aku nunggu kamu disini.” Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres karena Wina terlihat begitu terkejut oleh kedatang laki-laki yang aku tidak kenal ini. Wina terlihat hanya mampu menunduk dan berkata, “eehh..uhmmm..aku gak ba..”, aku baru saja akn bertanya kepada Wina tentang laki-laki itu ketika tiba-tiba dia menyambar tangan Wina dan berkata, “hebat..salut buat kamu Win..akhirnya kamu mendapatkan laki-laki yang lebih baik dariku”, dan Wina menundukkan wajahnya semakin dalam dan terdiam sementara aku masih bingung dan bertanya-tanya dalam hati.

Aku memutuskan untuk berpamitan kepada Wina tanpa bertanya lebih lanjut perihal laki-laki yang tadi datang. Entah kenapa selama perjalanan aku pulang, nalarku berputar untuk dapat mencerna kejadian yang baru saja terjadi di depan gerbang rumah Wina tadi. Di saat aku ingin mengakhiri malam yang indah bersama Wina, kenapa harus ada kejadian aneh seperti tadi yang merusaknya. Setelah nalarku berputar-putar, akhirnya aku mendapat kesimpulan sementara bahwa mungkin laki-laki tadi adalah pacar atau mantan pacarnya Wina yang merasa memergoki Wina sedang dikecup olehku. Tiba-tiba aku merasa kasihan kepada laki-laki itu. Andai saja dia mengetahui hal yang sebenarnya antara Wina dan aku.

Saat aku tiba di rumah, aku langsung bergegas ke kamarku dan membersihkan wajahku, serta berganti pakaian yang lebih santai. Setelah segar dan santai, aku langsung merebahkan tubuhku di kasur dan melepaskan pandanganku ke arah langit-langit kamarku. Terbayang wajah sendu Wina yang dihiasi gurat-gurat kesedihan yang begitu kentara. Mataku terpejam, “Wina…,” namanya terucap lirih dari bibirku. Disaat seperti inilah aku merasa menyesal telah lahir dalam keluargaku. Karena akibat garis keturunan lah aku tidak dapat menunjukkan rasa cintaku yang tulus kepada Wina. Andai papaku dan papanya wina bukan saudara sekandung, mungkin aku memiliki kesempatan lebih banyak untuk mempersunting Wina. “sejuta keindahan telah ku ukir dalam hatiku..semua hanya untukmu..tetapi sang takdir telah membuat jurang yang begitu luas antara kita..dan menelan seluruh keindahan itu,” aku terus meratap dalam hati. Mataku terpejam, helaan nafasku terasa begitu berat namun melegakan, dan aku tersenyum dengan penuh kepuasan. Perlahan nafasku mulai teratur hingga terdengar dengkuran halus dari ujung bibirku. Biarlah perasaan ini menguap seiring terbitnya mentari baru esok hari.

Serpihan Hati -Part 3a-

Betapa beruntungnya aku malam ini. Malam begitu indah bertabur bintang dan bulan pun bersinar begitu terang. Aku telah berhasil menghabiskan waktuku dengan baik malam ini, dan sekarang aku berada di dalam mobilku bersama sosok wanita cantik di sebelahku. Begitu nyamannya waktu berjalan saat ini, tidak terlalu cepat, namun tidak terasa lambat. Yang pasti aku merasa menjadi laki-laki yang paling beruntung di dunia malam ini.

Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba Wina mengajakku pergi keluar malam ini. Wina. Sosok wanita yang selama ini diam-diam aku kagumi. Wina memiliki perpaduan yang unik antara sifatnya yang baik dan lembut, serta kesempurnaan fisik yang begitu seimbang. Selama ini aku berhasil memendam segala perasaan ku terhadap Wina, tetapi malam ini perasaan itu telah berhasil menguasai hati dan otakku. Jujur dalam hati, aku ingin berteriak gembira agar seluruh dunia mengerti betapa aku memuja sosok seorang Wina. Tapi semua gejolak itu langsung padam begitu saja.

Malam semakin larut dan aku merasa lelah, tetapi sekaligus berbunga-bunga. Senang, gembira, nyaman, santai, semuanya bercampur menjadi satu dan bergiliran menghempaskan hatiku ke surga pribadiku yang selama ini bersemayam dalam relung hatiku yang terdalam. Aku ingin menjadi seekor kupu-kupu dan menari dengan gemulai menghias malam yang indah serta menemani bulan dan bintang di atas panggung langit gelap. Betapa kudambakan saat-saat seperti ini dan enggan kulepaskan, tetapi apakah mungkin?

Selama dalam perjalanan pulang ke rumahnya aku melihat Wina berubah menjadi diam dan termenung, seperti sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Berbeda ketika kami berdua menghabiskan waktu di kedai kopi dan melihat-lihat CD di lapangan parkir timur Senayan. Wajahnya menjadi kaku dan pandangannya menerawang ke suatu tempat yang hanya dia yang tahu. “Hei, lagih mikirin apaan?kok abis jalan-jalan malah bengong?” aku mencoba menegurnya dan menyadarkan dari lamunannya. “aah..ooh..gak papa kok mas, Cuma lagih pengen bengong ajah..hehehe” dia menjawab sekenanya. Aku telah cukup mengenal Wina untuk tahu bahwa dia tidak jujur kepadaku, tetapi aku cukup bijak untuk tidak bertanya lebih lanjut. Hanya seutas senyum penuh arti yang dapat aku tunjukkan kepadanya.

Serpihan Hati -Part 2-

Akhirnya aku sampai didepan rumahku setelah semalaman aku menyegarkan pikiran dan perasaanku dengan ditemani mas Eka. Kami berhasil menjelajah hampir semua tempat makan dan hang-out di pelosok kota Jakarta. Semua penat dan kekesalan dalam hatiku sedikit demi sedikit mulai terkikis, dan perasaan nyaman yang selama ini begitu rindukan akhirnya dapat kurasakan kembali. Tetapi ada satu hal yang membuat aku kecewa, yaitu kenyataan bahwa yang mampu memberikan itu semua bukanlah Reza, sosok laki-laki yang selama lima tahun ini selalu ada disampingku dan telah memiliki tempat istimewa dalam hatiku.

Seperti kelopak bunga yang tadinya begitu indah merekah, perlahan hubungan kami menjadi layu dan kehilangan arti indahnya. Aku benar-benar tak mengerti kenapa semuanya menjadi seperti ini, kenapa tiba-tiba ada jarak yang begitu jelas memisahkan kami. Terakhir yang aku ingat, semua berjalan baik-baik saja, dan hubungan kami berjalan layaknya sepasang kekasih yang sedang menjalin cinta, memang terkadang kami bertengkar tapi masih dalam tingkat wajar dan pertengkaran itu selalu berhasil kami selesaikan dengan cukup baik. Apa mungkin karena sibuknya kami mengerjakan skripsi sehingga komunikasi yang tadinya berjalan lancar menjadi sedikit terhambat? Atau mungkin karena kebersamaan kami selama lima tahun ini sedang menghadapi masa jenuhnya?dan pertanyaan dalam hatiku pun terus berlanjut.

Sudah cukup. Aku tidak ingin membebani pikiranku lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak aku mengerti. Biarlah semua berjalan seperti adanya. Biarlah ku lalui malam ini dengan indah.

“Hei, lagih mikirin apaan?kok abis jalan-jalan malah bengong?” teguran mas Eka menyadarkan lamunan sesaat ku. “aah..ooh..gak papa kok mas, Cuma lagih pengen bengong ajah..hehehe”, aku mencoba sedikit berbohong, walaupun aku sadar bahwa tak mungkin aku mampu menyembunyikan perasaanku di depan mas Eka, karena dia cukup mengenal sifat-sifatku. Mas Eka hanya tersenyum penuh arti. Kami pun turun dari mobil, lalu mas Eka mengantarku hingga ke depan gerbang rumahku. Seperti kebiasaan kami sejak lama, mas Eka selalu mengecup kening dan pipiku sebagai tanda perpisahan dan kemudian dia berkata “salam buat papa dan mama yaahhh Win”. Aku hanya mengangguk pelan seraya tersenyum.

Ketika mas Eka baru akan pamit, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara yang sudah begitu aku kenal. “halo Wina, tadi aku coba telepon ke handphone kamu tapi gak aktif, trus, akhirnya aku nunggu kamu disini”. Aku terlalu shock dan bingung karena harus bertemu Reza disaat aku belum siap, dan aku yakin pasti Reza telah salah paham atas “kecupan perpisahan” yang barusan diberikan oleh mas Eka. Entah kenapa aku hanya mampu menunduk dan berkata, “eehh..uhmmm..aku gak ba..”, lalu tiba-tiba Reza menyambar tanganku dan berkata, “hebat..salut buat kamu Win..akhirnya kamu mendapatkan laki-laki yang lebih baik dariku”, dan aku dengan bodohnya malah menundukkan wajahku semakin dalam dan terdiam.

Reza melepaskan jabatan tangannya dan berbalik seraya berlalu dengan tenang serta perlahan menjauhi aku dan mas Eka. Dalam hati aku memaki, memarahi diriku sendiri atas sikapku yang begitu bodoh. Kenapa aku harus sebegitu gugup dan terkejut atas kehadiran Reza dan kenapa pula aku harus merasa seperti baru selesai melakukan suatu kejahatan besar terhadap Reza. Huh. Tapi entah kenapa aku merasa sangat kecewa atas sikap Reza yang tenang dan datar, padahal aku cukup kenal sifat Reza yang emosional dan tempramen. Aku masih ingat kejadian ketika kami baru mulai pacaran. Ketika itu ada seorang berandalan mencoba menggangguku ketika aku sedang menunggu Reza menjemputku di kampus, karena merasa marah, Reza tanpa menghentikan motornya langsung melompat dan menerjang berandalan tadi dan memukulinya tanpa ampun. Seperti itulah sosok Reza yang aku kenal. Begitu melindungi. Saat itu aku merasakan betapa khawatirnya Reza atas keselamatanku, dan walau terkadang sifatnya menjadi berlebihan, sampai orang lain mungkin akan melihat hal itu menjurus ke arah posesif dan over protektif. Tapi kenapa Reza terlihat begitu santai dan seolah tak lagi peduli akan keadaanku, dan bahkan kalau bisa dibilang Reza terlihat tak keberatan atas kebersamaanku dengan mas Eka.

Setelah melihat mas Eka mulai melajukan mobilnya, aku langsung bergegas menuju kamarku. Gulingku yang tak berdosa langsung kuterjang dengan segenap perasaan, ku peluk erat-erat seolah aku tak ingin melepaskannya. Tak ada air mata yang menitik di wajahku, tak ada teriakan-teriakan penuh kemarahan, yang ada hanya hening dan sesak yang terasa menyakitkan di dalam dadaku. Aku sungguh tidak ingin merasakan ini, sungguh tidak nyaman, padahal malam ini berjalan dengan sangat baik dan terasa begitu nyaman serta menyenangkan, tapi kenapa harus diakhiri dengan kejadian seperti ini. “Kenapa harus badai perasaan ini yang melanda hatiku?”,” kenapa rasa sesak yang menyakitkan ini yang harus kurasakan?”. Akhirnya aku mencoba memejamkan mataku sambil mencoba mengusir gejolak hatiku yang menghantui. “Reza..betapa aku mencintaimu…tapi kenapa semua harus menjadi seperti ini?..kenapa??” pertanyaan itu terus menggema dalam kepala ku hingga aku tertidur dengan lelap.