Serpihan Hati -Part 2-

Akhirnya aku sampai didepan rumahku setelah semalaman aku menyegarkan pikiran dan perasaanku dengan ditemani mas Eka. Kami berhasil menjelajah hampir semua tempat makan dan hang-out di pelosok kota Jakarta. Semua penat dan kekesalan dalam hatiku sedikit demi sedikit mulai terkikis, dan perasaan nyaman yang selama ini begitu rindukan akhirnya dapat kurasakan kembali. Tetapi ada satu hal yang membuat aku kecewa, yaitu kenyataan bahwa yang mampu memberikan itu semua bukanlah Reza, sosok laki-laki yang selama lima tahun ini selalu ada disampingku dan telah memiliki tempat istimewa dalam hatiku.

Seperti kelopak bunga yang tadinya begitu indah merekah, perlahan hubungan kami menjadi layu dan kehilangan arti indahnya. Aku benar-benar tak mengerti kenapa semuanya menjadi seperti ini, kenapa tiba-tiba ada jarak yang begitu jelas memisahkan kami. Terakhir yang aku ingat, semua berjalan baik-baik saja, dan hubungan kami berjalan layaknya sepasang kekasih yang sedang menjalin cinta, memang terkadang kami bertengkar tapi masih dalam tingkat wajar dan pertengkaran itu selalu berhasil kami selesaikan dengan cukup baik. Apa mungkin karena sibuknya kami mengerjakan skripsi sehingga komunikasi yang tadinya berjalan lancar menjadi sedikit terhambat? Atau mungkin karena kebersamaan kami selama lima tahun ini sedang menghadapi masa jenuhnya?dan pertanyaan dalam hatiku pun terus berlanjut.

Sudah cukup. Aku tidak ingin membebani pikiranku lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak aku mengerti. Biarlah semua berjalan seperti adanya. Biarlah ku lalui malam ini dengan indah.

“Hei, lagih mikirin apaan?kok abis jalan-jalan malah bengong?” teguran mas Eka menyadarkan lamunan sesaat ku. “aah..ooh..gak papa kok mas, Cuma lagih pengen bengong ajah..hehehe”, aku mencoba sedikit berbohong, walaupun aku sadar bahwa tak mungkin aku mampu menyembunyikan perasaanku di depan mas Eka, karena dia cukup mengenal sifat-sifatku. Mas Eka hanya tersenyum penuh arti. Kami pun turun dari mobil, lalu mas Eka mengantarku hingga ke depan gerbang rumahku. Seperti kebiasaan kami sejak lama, mas Eka selalu mengecup kening dan pipiku sebagai tanda perpisahan dan kemudian dia berkata “salam buat papa dan mama yaahhh Win”. Aku hanya mengangguk pelan seraya tersenyum.

Ketika mas Eka baru akan pamit, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara yang sudah begitu aku kenal. “halo Wina, tadi aku coba telepon ke handphone kamu tapi gak aktif, trus, akhirnya aku nunggu kamu disini”. Aku terlalu shock dan bingung karena harus bertemu Reza disaat aku belum siap, dan aku yakin pasti Reza telah salah paham atas “kecupan perpisahan” yang barusan diberikan oleh mas Eka. Entah kenapa aku hanya mampu menunduk dan berkata, “eehh..uhmmm..aku gak ba..”, lalu tiba-tiba Reza menyambar tanganku dan berkata, “hebat..salut buat kamu Win..akhirnya kamu mendapatkan laki-laki yang lebih baik dariku”, dan aku dengan bodohnya malah menundukkan wajahku semakin dalam dan terdiam.

Reza melepaskan jabatan tangannya dan berbalik seraya berlalu dengan tenang serta perlahan menjauhi aku dan mas Eka. Dalam hati aku memaki, memarahi diriku sendiri atas sikapku yang begitu bodoh. Kenapa aku harus sebegitu gugup dan terkejut atas kehadiran Reza dan kenapa pula aku harus merasa seperti baru selesai melakukan suatu kejahatan besar terhadap Reza. Huh. Tapi entah kenapa aku merasa sangat kecewa atas sikap Reza yang tenang dan datar, padahal aku cukup kenal sifat Reza yang emosional dan tempramen. Aku masih ingat kejadian ketika kami baru mulai pacaran. Ketika itu ada seorang berandalan mencoba menggangguku ketika aku sedang menunggu Reza menjemputku di kampus, karena merasa marah, Reza tanpa menghentikan motornya langsung melompat dan menerjang berandalan tadi dan memukulinya tanpa ampun. Seperti itulah sosok Reza yang aku kenal. Begitu melindungi. Saat itu aku merasakan betapa khawatirnya Reza atas keselamatanku, dan walau terkadang sifatnya menjadi berlebihan, sampai orang lain mungkin akan melihat hal itu menjurus ke arah posesif dan over protektif. Tapi kenapa Reza terlihat begitu santai dan seolah tak lagi peduli akan keadaanku, dan bahkan kalau bisa dibilang Reza terlihat tak keberatan atas kebersamaanku dengan mas Eka.

Setelah melihat mas Eka mulai melajukan mobilnya, aku langsung bergegas menuju kamarku. Gulingku yang tak berdosa langsung kuterjang dengan segenap perasaan, ku peluk erat-erat seolah aku tak ingin melepaskannya. Tak ada air mata yang menitik di wajahku, tak ada teriakan-teriakan penuh kemarahan, yang ada hanya hening dan sesak yang terasa menyakitkan di dalam dadaku. Aku sungguh tidak ingin merasakan ini, sungguh tidak nyaman, padahal malam ini berjalan dengan sangat baik dan terasa begitu nyaman serta menyenangkan, tapi kenapa harus diakhiri dengan kejadian seperti ini. “Kenapa harus badai perasaan ini yang melanda hatiku?”,” kenapa rasa sesak yang menyakitkan ini yang harus kurasakan?”. Akhirnya aku mencoba memejamkan mataku sambil mencoba mengusir gejolak hatiku yang menghantui. “Reza..betapa aku mencintaimu…tapi kenapa semua harus menjadi seperti ini?..kenapa??” pertanyaan itu terus menggema dalam kepala ku hingga aku tertidur dengan lelap.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ceritanya membingungkan..alur dan setting harus dipertegas,jika memang cerita harus berganti tokoh. Pemakaian kata jangan diulang sehingga terkesan "miskin" pemilihan kata.

*Hanya sekedar komentar :D