Serpihan Hati

Kecupan hangat itupun telah jatuh di atas kening dan kedua pipinya, begitu hangat, indah dan penuh dengan rasa kasih sayang. Semua terjadi begitu spontan dan semuanya terasa begitu romantis. Tapi ada satu hal yang hatiku bergejolak, yaitu kenyataan bahwa bibir yang memberikan kecupan hangat itu bukanlah bibirku, padahal selama lima tahun ini bibir itulah yang selalu memberikan aku kecupan seperti itu.

Bila yang mendapat ciuman itu adalah orang lain mungkin aku akan iri dan turut bergembira, tetapi kenyataanya wanita yang beruntung itu adalah Wina, sosok wanita yang selama ini selalu mendampingiku dan berkomitmen untuk menjalin hubungan spesial denganku. Aku bingung apakah aku harus marah atau kesal, atau malah sebaliknya harus sedih dan menangis dalam hati. Akhirnya satu-satunya hal yang bisa aku perbuat hanya terdiam dan berdiri memandangi adegan kecupan hangat itu akhirnya selesai.

Selesai melihat adegan kecupan itu, aku mulai tersadar, lalu mulai berjalan mendekati Wina dan sosok pria yang belum pernah aku kenal dan telah menikmati bibir yang selama ini selalu memberikan kehangatan lewat senyuman-senyuman yang dibentuknya untukku.

Entah apa yang merasuki hatiku, tapi satu hal yang tidak terduga terjadi, saat telah mendekat, aku tersenyum hangat sambil menyapa dengan sopan Wina dan pria yang ada di sampingnya“halo Wina, kamu lagi ngapain disini?kok tadi aku coba telepon ke handphone kamu tapi gak aktif, eh, ternyata malah ketemu disini”. Terlihat betapa terkejut dan malunya wina mendengar pertanyaanku, sambil menunduk wina membalas sapaanku dengan terbata-bata. Dalam hati aku sendiri kaget ternyata aku bisa setenang itu setelah melihat pacarnya di cium laki-laki lain di depan matanya sendiri. Wina pun terlihat sangat terkejut, kemudian dengan terbata-bata mencoba menjawab pertanyaanku, “eehh..uhmmm..aku gak ba..”, belum sempat wina menyelesaikan kalimatnya aku telah menyambar tangan Wina seraya berkata “hebat..salut buat kamu Win..akhirnya kamu mendapatkan laki-laki yang lebih baik dariku”, kemudian Wina hanya terdiam serta menundukkan wajahnya semakin dalam, sementara wajah laki-laki di sebelahnya terlihat semakin bingung dan bertanya-tanya.

Setelah menjabat tangannya, aku berbalik seraya berjalan dengan tenang serta perlahan menjauhi Wina dan “pasangan”nya. Hatiku dihempaskan oleh berjuta perasaan yang campur aduk, dan dadaku terasa sesak oleh gejolak emosi dalam jiwaku. Aku marah. Aku kesal. Aku sedih. Aku benci. Aku cinta kamu Wina… Aku sungguh-sungguh mencintaimu dengan segenap hati dan jiwaku…

Setelah meninggalkan Wina dan “Pasangannya”, entah kenapa aku langsung teringat kedai kopi yang biasa aku dan Wina kunjungi saat kami ingin menghabiskan waktu berdua. Benar-benar berdua. Sebenarnya aku tidak ingin memikirkan soal Wina malam ini, tapi aku justru mendatangi tempat yang penuh kenangan tentang dirinya. Dan entah kenapa langkahku menyeretku ke meja yang ada di pojok, tepat di bawah pohon. “this is our favorite spot”, hatiku berkata lirih seraya tersenyum getir. Meja, kursi, pohon, lampu taman dan setiap jengkal tempat ini telah membangkitkan kenangan tentang hubungan aku dan Wina, mereka lah yang selama ini menjadi saksi bisu atas semua kejadian penting dalam hubungan kami. Di tempat inilah aku menyatakan perasaan sayang dan cintaku kepada Wina, tempat ini pula kami bertengkar pertama kali, bahkan pojokan inilah aku memberikan ciuman pertamaku untuk Wina. Sebuah ciuman yang begitu indah dan sulit kulupakan. Hatiku sesak. Aku terus terlarut dalam kenangan tentang Wina, ketika sebuah suara menyadarkan aku, “mau pesen apa mas?”, rupanya pelayan yang sedari tadi menunggu pesananku mulai bosan melihat aku hanya terdiam dengan pandangan kosong ke depan. Langsung aku membalik buku menu lalu dengan datar memesan secangkir mocha latte, minuman kesukaan kami, kemudian aku kembali termenung meneruskan renungan yang tadi sempat tertunda.

Cangkir yang tadinya penuh, perlahan mulai kosong, malampun mulai semakin larut dan hembusan angin malam terasa kian menusuk. Aku mengangkat jariku ke arah pelayan yang sedang berdiri tak jauh dariku, memberi tanda bahwa aku meminta tagihan atas segelas mocha latte, dan mungkin sejuta kenangan tentang Wina. Setelah menyerahkan beberapa lembar uang puluhan ribu aku langsung beranjak dari tempat dudukku, tanpa menunggu uang kembalian dari sang pelayan, aku melangkah pelan ke arah mobilku dan langsung melaju dengan tujuan rumahku. Aku butuh istirahat, sudah cukup badai emosi dan kekakuan otak yang aku rasakan malam ini.

Sesampainya aku di rumah, langsung kurebahkan tubuhku keatas kasur, dan perlahan kupejamkan mataku. Sesaat aku masih belum mampu menghilangkan bayangan Wina dibalik mataku, sampai akhirnya aku berkata dalam hati, “cukuplah semua menjadi kenangan yang kusimpan di ujung hatiku yang terdalam…”. Aku membuka mataku sesaat dan terpejam kembali sambil menghela nafas panjang dengan lega. “Wina…Aku memang Mencintaimu…tapi ternyata Aku belum Jatuh Cinta Padamu…..”