Aku menghentikan mobilku tepat di depan gerbang rumahnya, dan seperti kebiasaan kami sebelum berpisah, aku memberinya kecupan di pipi dan keningnya. Kali ini kecupan itu begitu berarti buat ku karena takdir telah memberiku kesempatan untuk menunjukkan perasaanku kepada Wina, walaupun belum tentu Wina menyadarinya. “salam buat papa dan mama yaahhh Win,” aku mencoba berbasa-basi menyampaikan kata perpisahan walaupun dalam hati aku tidak ingin semua ini berakhir. Dia hanya mengangguk dan tersenyum, sebuah senyum yang kurasa begitu menyejukkan hati.
Ketika aku hendak beranjak pergi, tiba-tiba aku dan Wina dikejutkan oleh suara laki-laki yang menyapa, “halo Wina, tadi aku coba telepon ke handphone kamu tapi gak aktif, trus, akhirnya aku nunggu kamu disini.” Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres karena Wina terlihat begitu terkejut oleh kedatang laki-laki yang aku tidak kenal ini. Wina terlihat hanya mampu menunduk dan berkata, “eehh..uhmmm..aku gak ba..”, aku baru saja akn bertanya kepada Wina tentang laki-laki itu ketika tiba-tiba dia menyambar tangan Wina dan berkata, “hebat..salut buat kamu Win..akhirnya kamu mendapatkan laki-laki yang lebih baik dariku”, dan Wina menundukkan wajahnya semakin dalam dan terdiam sementara aku masih bingung dan bertanya-tanya dalam hati.
Aku memutuskan untuk berpamitan kepada Wina tanpa bertanya lebih lanjut perihal laki-laki yang tadi datang. Entah kenapa selama perjalanan aku pulang, nalarku berputar untuk dapat mencerna kejadian yang baru saja terjadi di depan gerbang rumah Wina tadi. Di saat aku ingin mengakhiri malam yang indah bersama Wina, kenapa harus ada kejadian aneh seperti tadi yang merusaknya. Setelah nalarku berputar-putar, akhirnya aku mendapat kesimpulan sementara bahwa mungkin laki-laki tadi adalah pacar atau mantan pacarnya Wina yang merasa memergoki Wina sedang dikecup olehku. Tiba-tiba aku merasa kasihan kepada laki-laki itu. Andai saja dia mengetahui hal yang sebenarnya antara Wina dan aku.
Saat aku tiba di rumah, aku langsung bergegas ke kamarku dan membersihkan wajahku, serta berganti pakaian yang lebih santai. Setelah segar dan santai, aku langsung merebahkan tubuhku di kasur dan melepaskan pandanganku ke arah langit-langit kamarku. Terbayang wajah sendu Wina yang dihiasi gurat-gurat kesedihan yang begitu kentara. Mataku terpejam, “Wina…,” namanya terucap lirih dari bibirku. Disaat seperti inilah aku merasa menyesal telah lahir dalam keluargaku. Karena akibat garis keturunan lah aku tidak dapat menunjukkan rasa cintaku yang tulus kepada Wina. Andai papaku dan papanya wina bukan saudara sekandung, mungkin aku memiliki kesempatan lebih banyak untuk mempersunting Wina. “sejuta keindahan telah ku ukir dalam hatiku..semua hanya untukmu..tetapi sang takdir telah membuat jurang yang begitu luas antara kita..dan menelan seluruh keindahan itu,” aku terus meratap dalam hati. Mataku terpejam, helaan nafasku terasa begitu berat namun melegakan, dan aku tersenyum dengan penuh kepuasan. Perlahan nafasku mulai teratur hingga terdengar dengkuran halus dari ujung bibirku. Biarlah perasaan ini menguap seiring terbitnya mentari baru esok hari.