By : Mirza Rahadian
Jakarta, 22012008
Pernahkah kau merasa kekuranganmu adalah kutukan? Merasa tersisih dari kumpulanmu, hanya karena sebuah perbedaan. Perbedaan yang muncul bukan karena keinginan hatimu. Bila kau pernah merasakan itu, janganlah merasa sedih, karena kau tidak sendiri.
**_**
Hari ini adalah hari pertama sekolah, setelah liburan panjang, akhir tahun ajaran. Anak-anak terlihat begitu bersemangat untuk berangkat ke sekolah. Seragam baru, buku baru, dan tentunya kisah liburan yang siap diceritakan kepada teman di sekolah. Namun, entah kenapa, Robi justru terlihat malas untuk berangkat ke sekolah.
”kenapa .. aku .. harus .. berangkat .. sekolah .. Bunda?”
Robi terlihat kesulitan menyampaikan sebuah pertanyaan sederhana kepada ibunya. Padahal seharusnya pertanyaan seperti itu sangat mudah disampaikan oleh anak seumurannya
”karena kalau kamu tidak sekolah, kamu tidak bisa menjadi orang pintar”
Marini, Ibunda Robi, dengan lembut menjelaskan kepada anaknya tentang alasan ia harus berangkat sekolah. Marini tersenyum mendengar pertanyaan anaknya, tetapi matanya memancarkan kesedihan yang mendalam. Marini sadar bahwa anak itu merasa enggan pergi sekolah, karena ia sering menjadi bahan olok-olok teman-temannya akibat kekurangannya dalam hal membaca, menulis dan berbicara. Robi menjadi kurang percaya diri dan mudah murung. Hal ini membuat Marini bingung dan sedih, dan berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi masalah anaknya itu.
”ooo ... begitu ... bunda”
Kembali, Marini hanya mampu tersenyum mendengar pernyataan anaknya.
**_**
Akhirnya aku sampai di kantor, dan kembali disibukkan oleh tumpukan pekerjaan yang belum diselesaikan sejak minggu kemarin. Tapi entah kenapa, pertanyaan Robi pagi tadi masih terngiang dalam pikiranku. Entah kenapa, seiring berjalannya waktu, keadaannya tidak menunjukkan gejala membaik. Malah justru semakin parah.
Aku masih ingat, pertama kali aku menyadari ada masalah dengan Robi. Ketika itu ada kegiatan bernyanyi bersama di sekolahnya, Robi mengaku kesulitan membaca lirik-lirik lagu yang diserahkan gurunya. Pertama, aku pikir memang dia tidak memiliki bakat bernyanyi. Ternyata gejala kesulitan dalam hal membaca, terlihat semakin parah, karena setelah kejadian itu, guru di sekolahnya pun mengeluhkan kemampuan baca, tulis dan bicara Robi yang, menurut mereka, dibawah rata-rata untuk anak seumurnya. Saat aku periksa, ternyata memang terbukti Robi benar-benar kesulitan untuk mengeja sebuah kalimat, apalagi menuliskannya kembali.
Perlahan, kubaca lagi brosur yang tergeletak di atas meja kerjaku. Sebuah brosur tentang klinik terapi khusus untuk anak-anak penderita Disleksia. ”Dis-lek-sia,” ku eja lagi kata itu, yang menurut dokter, adalah nama penyakit yang mungkin menyebabkan Robi kesulitan membaca, menulis dan berbicara. Menurut dokter, penyakit itu disebabkan oleh kelainan otak yang mungkin bersifat turunan, dan mengakibatkan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada anak tersebut dalam melakukan aktifitas membaca dan menulis.
Brosur itu aku dapat sebagai bentuk rekomendasi, dengan harapan penyakit Robi dapat disembuhkan, atau paling tidak dikurangi gejalanya, dengan bantuan dari klinik tersebut. Sebagian hatiku merasa gembira, bahwa ada kemungkinan penyakit anakku dapat disembuhkan. Tetapi sebagian hatiku yang lain merasa tidak mampu menerima kenyataan bahwa anakku sakit, apalagi melihat kondisi fisiknya yang, menurut pandanganku, terlihat sangat sehat. Dilematis.
**_**
Mobil Marini terlihat memasuki pelataran parkir sekolah, siang ini. Setelah keluar dari mobil, Marini berjalan agak tergesa menuju salah satu ruangan. Di dalam ruangan itu, terlihat Robi menangis pelan, sambil dibelai rambutnya oleh seorang guru wanita.
”Apa yang terjadi dengan Robi, bu Eka?”
Marini terlihat cemas melihat anaknya menangis.
”jangan khawatir bu Marini, Robi cuma malu, karena tadi ditertawai teman-teman sekelasnya saat disuruh maju ke depan kelas untuk bercerita”
Bu Eka, guru tadi, berusaha menenangkan Marini yang terlihat semakin gelisah dan khawatir.
”jangan nangis donk, sayang. Masa’ jagoan Bunda nangis cuma gara-gara diketawain”
Marini, yang telah mengerti permasalahan sebenarnya, langsung memeluk tubuh anaknya dengan lembut, sambil memberikan sebuah kecupan hangat di keningnya.
Kejadian seperti ini sudah terjadi beberapa kali kepada Robi. Bahkan pernah satu kali, Robi pulang ke rumah dalam keadaan menangis. Lalu ia mengadu, dengan susah payah, bahwa teman-temannya di sekolah menyebutnya ”si Bodoh” atau ”Anak Idiot”, karena ia salah mengucapkan kata gajah menjadi jagah, dan beberapa kali gagal membaca sebuah kalimat di papan tulis. Tentu hal ini membuat Marini marah sekaligus sedih, dan langsung melaporkan hal tersebut kepada pihak sekolah. Sejak itu, Robi selalu ada dalam pengawasan guru-gurunya, dan teman-temannya tidak berani lagi untuk mengejek atau mengolok-oloknya. Namun akhirnya, pengawasan itu malah membuatnya semakin murung dan mudah bosan, karena Robi tidak berkesempatan untuk bermain dan bersenang-senang bersama teman sebayanya.
Marini memutuskan untuk membawa Robi pulang. Setelah berpamitan dengan bu Eka, Marini menuntun Robi ke mobil. Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, perlahan mobil melaju keluar dari kompleks sekolah, menuju rumah.
**_**
Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku terus menggenggam brosur yang berisi informasi tentang klinik terapi Disleksia. Pikiranku masih sedikit bimbang dan bingung. Kupandangi wajah polos anakku, yang terdiam sambil melayangkan pandangannya keluar kaca mobil. Kubelai rambutnya, ”mungkin inilah keputusan yang paling tepat untuk Robi,” akhirnya kata-kata itu muncul dalam hatiku. Kubulatkan tekad untuk membawa Robi konsultasi dan terapi di klinik itu. Semua demi kebaikan dan masa depannya, karena aku tidak ingin anakku terus merasa tersisih. Merasa terbuang dari kelompoknya, hanya karena sebuah perbedaan, yang sama sekali bukan atas keinginannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar